Assalamu'alaikum

Jumat, 12 April 2013

makalah ; PERNIKAHAN SESAMA JENIS


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Pernikahan yang di anggap wajar dalam masyarakat adalah pernikahan heteroseksual atau nikah dengan lawan jenis. Maka tidaklah salah ketika pernikahan homoseksual atau nikah dengan sesame jenis banyak mendapat kontroversi di masyarakat karena di anggap aneh, menyimpang dari hukum syara’, dan yang lebih ironis lagi di bilang sakit jiwa. Karena hal itulah pemakalah mencoba untuk membahas bagaimana pernikahan homoseksual yang hidup di Negara kita (Indonesia), dengan membandingkannya pada Negara tetangga yaitu Malaysia.  
  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apa yang di maksud dengan pernikahan heteroseksual dan homoseksual ?
2.      Bagaimana kehidupan kaum homoseksual dan peraturan pemerintah di Indonesia ?
3.      Dan bagaimana pula peraturan pemerintah terhadap homoseksual di Malaysia ?
  1. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa lebih muda lagi memahami bagaimana peraturan pemerintah di dua Negara itu memperlakukan kaum homoseksual.



BAB II
PERNIKAHAN SESAMA JENIS (LGBT) DI INDONESIA DAN MALAYSIA

  1. PENGERTIAN
Perilaku Homoseksual adalah perilaku seksual yang ditujukan pada pasangan sejenis, yang bila terjadi pada kaum wanita sering disebut lesbianisme. Homoseksualitas sudah sering terjadi sepanjang sejarah umat manusia, reaksi berbagai bangsa di berbagai kurun waktu sejarah terhadap homoseksualitas ternyata berlainan. Dalam praktik sulit membagi orang kedalam dua kelompok: homoseksual dan heteroseksual,keduanya merupakan dua kutub yang ekstrem. Banyak masyarakat yang memandang heteroseksualitas sebagai perilaku seksual yang “wajar”, sedangkan homoseksualitas secara tradisional dipandang sebagai gangguan mental. Sisi lain yang perlu dicatat ialah bahwa homoseksualitas dapat meliputi sejumlah hal, seperti kecendrungan, aktivitas, status, peran, atau konsep-diri, serta bahwa seseorang tidak harus sama-sama homoseksual disegala sisi atau bidang tersebut.
Dalam masyarakat yang sudah lebih toleran teradap homoseksual, sering ditemukan komunitas gay. Yang mana, komunitas gay adalah wilayah geografis yang terdapat subkultur homoseksual beserta aneka pranatanya. Komunitas homoseksual, sistem nilai, teknik komunikasi, dan pranata-pranata suportif maupun protektif, seperti tempat tinggal, toko pakaian, toko buku, gedung bioskop, dan sebagainya yang bersifat unik dan eksklusif, khusus untuk kaum homoseksual. Tetapi di Indonesia kita belum pernah mendengar adanya komunitas semacam ini.[1]
Adapun faktor penyebab tejadinya homoseksualitas bisa bermacam-macam,seperti karena kekurangan hormon lelaki selama masa pertumbuhan, karena mendapat pengalaman homoseksual yang menyenangkan pada masa remaja atau sesudahnya, karena memandang perilaku heteroseksual sebagai sesuatu yang menakutkan atau tidak menyenangkan, ataupun karena besar ditengah keluarga dimana ibu lebih dominan daripada sang ayah atau bahkan tidak ada.[2]
Lalu apakah perilaku Homoseksual atau Lesbian itu sebuah penyakit ataukah suatu perilaku yang tidak sesuai di dalam masyarakat? Bisa dikatakan bahwa Homoseksual atau Lesbian itu adalah sebuah penyakit dimana mereka melampiaskan kebutuhan seksualnya tetapi tidak pada hal yang sewajarnya, mereka melakukanya tidak pada lawan jenis tetapi sesama jenis. Biasanya perilaku itu muncul karena lingkunganya lah yang sudah membentuk main sheet/pikiran mereka untuk melakukan tindakan penyimpangan itu,mungkin pada suatu daerah hal itu dianggap biasa saja tetapi pada masyarakat umumnya hal itu adalah suatu yang tabu untuk dilakukan, apalagi menurut agama perbuatan itu sangat dilarang dan melanggar ajaran-ajaran agama.[3]
Lalu bagaimana dengan Hak para pelaku Homoseksual atau Lesbian dalam masyarakat? Pada jumat, 17 juni 2011 di Jenewa, Swiss disahkanya resolusi PBB terkait persamaan hak homoseksual. Sebanyak 23 negara anggota PBB setuju meloloskan resolusi sejarah tentang persamaan hak bagi semua orang tanpa memandang orientasi seksual, resolusi ini menandai kemajuan dalam penegakan hak-hak kaum homoseksual didunia. Sebelumnya pada proses voting diwarnai perdebatan yang sengit dari negara-negara kawasan Afrika dan Arab yang menentang keras disahkannya resolusi tersebut apalagi negara tersebut tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Pada deklarasi AS yang berjudul “Mengakhiri Tindakan Kekerasan Dan Pelanggaran HAM Terkait Berdasarkan Orientasi Seksual dan Identitas Gender”, yang meminta seluruh pemerintahan dunia untuk segera mengambil langkah khusus untuk mengakhiri tindak kekerasan, sanksi kriminal,  dan pelanggaran HAM terkait dengan ditujukan bagi para individu karena orientasi seksualnya. Pada hakikatnya pasangan Homo atau lesbian, meminta pengakuan dari negara lain dimana pilihan mereka untuk menjadi Homo atau Lesbian itu adalah hak asasi mereka. Tetapi, di Indonesia Homo atau Lesbian tidak bisa diterima bahkan ditolak karena budaya kita dibatasi oleh konstitusi-konstitusi HAM yang berlaku di Indonesia. HAM tanpa batas itu sekuler tetapi Indonesia bukanlah negara Liberal yang menganut paham kebebasan melainkan menganut paham yang lebih didasari oleh agama dan budaya masyarakat yang telah ada sejak dulu. Apalagi jika mereka melakukan pernikahan sesama jenis dan menginginkan pengakuan masyarakat atas pernikahan itu selayaknya pernikahan yang dilakukan masyarakat pada umumnya, di Indonesia sendiri belum mempunyai peraturan ataupun kaedah mengenai pernikahan sesama jenis tersebut.
Legalitas pernikahan sesama jenis adalah kewajiban hukum dalam melindungi setiap individu tanpa membedakan gendernya, pada dasarnya homoseksualitas maupun lesbian dimata hukum semuanya sama, mereka mendapat kebebasan memeluk agama, berpendapat, memiliki hak untuk hidup dan mendapat perlindungan hukum, dan sebagainya. Demikianlah legalitas pernikahan sesama jenis jika mereka tidak merugikan ataupun menggangu mereka yang normal, dan kita yang normal bukan membuat mereka menderita dan merasa tidak diakui karena tindakan penyimpangan itu. Karena Homoseksual adalah suatu penyakit maka kita harus melakukan upaya untuk penyembuhan terhadap perilaku itu bukan pada penolakan terhadap penyakitnya tetapi pada tindakannya lah yang harus dibenahi dan diarahkan pada hal yang sewajarnya. Maka pentingnya kita untuk memahami Hak asasi manusia sebagai nilai-nila moral yang universal paling luhur.[4]



  1. HUKUM PERKAWINAN SESAMA JENIS DI INDONESIA
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
Pasal 1
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.”
Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan juga bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama masing-masing.
Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) beserta penjelasannya dan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perda DKI Jakarta No. 2/2011”) beserta penjelasannya:[5]
Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Adminduk:
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Pasal 45 ayat (1) Perda DKI Jakarta No. 2/2011:
Setiap perkawinan di Daerah yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, wajib dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada Dinas di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal sahnya perkawinan.
Penjelasan Pasal 45 ayat (1) Perda DKI Jakarta No. 2/2011:
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Kemudian, dari sisi agama Islam, perkawinan antara sesama jenis secara tegas dilarang. Hal ini dapat dilihat dalam Surah Al-A’raaf (7): 80-84, yang artinya sebagai berikut:
"Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah (keji) itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?" Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya (yang beriman) kecuali istrinya (istri Nabi Luth); dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu."
Selain itu, Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) juga secara tidak langsung hanya mengakui perkawinan antara pria dan wanita, yang dapat kita lihat dari beberapa pasal-pasalnya di bawah ini:[6]
Pasal 1 huruf a KHI:
Peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.
Pasal 1 huruf d KHI:
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Pasal 29 ayat (3) KHI:
Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.
Pasal 30 KHI:
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.
Selain itu, mengenai perkawinan sejenis ini, beberapa tokoh juga memberikan pendapatnya. Di dalam artikel hukumonline yang berjudul Menilik Kontroversi Perkawinan Sejenis, sebagaimana kami sarikan, Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ma'ruf Amin dengan tegas menyatakan bahwa pernikahan sejenis adalah haram. Lebih lanjut Ma'ruf Amin mengatakan, “Masak laki-laki sama laki-laki atau perempuan sama perempuan. Itu kan kaumnya Nabi Luth. Perbuatan ini jelas lebih buruk daripada zina.” Penolakan serupa juga dikatakan oleh pengajar hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Farida Prihatini. Dia mengatakan bahwa perkawinan sejenis itu tidak boleh karena dalam Al Quran jelas perkawinan itu antara laki-laki dan perempuan.[7]
Jadi, dapat kiranya disimpulkan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan di Indonesia perkawinan sesama jenis tidak dapat dilakukan karena menurut hukum, perkawinan adalah antara seorang pria dan seorang wanita. Pada sisi lain, hukum agama Islam secara tegas melarang perkawinan sesama jenis.

C.    ADA UPAYA LEGALKAN KAWIN SESAMA JENIS KELAMIN

Menteri Agama, Suryadharma Ali, yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengungkapkan hal tersebut saat berada di Bandung. Menurutnya, ada sejumlah pihak yang menuntut perubahan Undang-Undang Perkawinan, salah satu tuntutannya agar perkawinan antar sesama jenis kelamin dilegalkan oleh Pemerintah Indonesia dengan kedudukan hukum setara dengan legalitas perkawinan normal antara lelaki dan perempuan.  ”Saat ini ada keinginan untuk merubah Undang-Undang Perkawinan, baik oleh Komnas Perempuan atau lembaga-lembaga lain, termasuk oleh para kaum gay, homoseksual, maupun lesbian” tutur Suryadharma saat mengisi acara penutup Musyawarah Kerja Wilayah DPW PPP Jawa Barat, di Bandung.
Selanjutnya Suryadharma mengatakan, kelompok penuntut perubahan tersebut menilai bahwa selama ini  Undang-Undang Perkawinan bernuansa diskriminatif, karena hanya  mengatur tentang pernikahan antara laki-laki dan perempuan. “Mereka menganggap itu diskriminatif karena hanya mewadahi pernikahan bagi laki-laki dan perempuan. Itu yang ingin mereka perjuangkan,” tandasnya.
Namun Suryadharma menolak menjelaskan secara detail nama kelompok/organisasi mana yang dimaksudkannya. Ia hanya mengatakan, indikasi gerakan tersebut telah disampaikannya kepada para alim ulama yang ia kunjungi dalam safari ke sejumlah pondok pesantren. Tujuan safari tersebut, menurutnya,  untuk menyamakan persepsi tentang masalah perkawinan antar sesama jenis kelamin.
Lebih lanjut lagi Suryadharma menjelaskan, kelompok penuntut legalitas perkawinan sesama jenis tersebut beranggapan bahwa substansi Undang-Undang Perkawinan yang berlaku saat ini telah menghalangi hak asasi mereka untuk kawin dengan sesama jenis kelamin. ”Sekarang, apakah kita cukup menjaga umat di pondok pesantren? Kita cukup menjaga umat di majelis ta’lim? Kemudian apa yang sedang berkecamuk dalam pergulatan politik di dalam pembentukan hukum yang mengatur tata kehidupan berbangsa, bermasyarakat, termasuk tata kehidupan beragama, kita akan biarkan? Apa seperti itu?” kata Suryadharma dalam uraiannya.
Undang-Undang Perkawinan, tegas Suryadharma, memang sengaja dibuat ”bernafaskan Islam”. Untuk itu, lanjutnya, dibutuhkan kekuatan politik untuk menjaga undang-undang tersebut dari pandangan hukum semacam itu.
Selain masalah gugatan agar melegalkan perkawinan antar sesama jenis kelamin, Suryadharma menambahkan, bahwa Undang-Undang Perkawinan juga dipermasalahkan setelah penyanyi dangdut Machica Mochtar mengajukan gugatan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi terkait hak perdata anak hasil pernikahan sirinya dengan mendiang mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. ”Mahkamah Konstitusi mengabulkan,” ujarnya.
Namun, lanjut Suryadharma, apa yang diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi jauh melebihi dari apa yang diminta oleh penggugat. Machicha, kata Suryadharma, dalam gugatannya hanya meminta sebatas hak perdata anaknya yang dihasilkan dari pernikahan siri. ”Kawin siri tidak mengurangi sedikitpun rukun perkawinan, kekurangannya hanya tidak dicatat. Pencatatan itu tidak masuk rukun nikah, masalah administrasi belaka,” ujarnya. Namun Mahkamah Agung malah melangkah lebih dari itu, bahkan “anak haram” hasil perzinahan pun diakui hak perdatanya dan disamakan dengan hak anak yang lahir dari pernikahan sirri (pernikahan sah sesuai syariat Islam namun tak didaftarkan di KUA) yang pada hakikatnya sah menurut syariat Islam.

D.    PROF UIN JAKARTA HALALKAN HOMOSEKSUAL

Harian The Jakarta Post, edisi Jumat (28/3/2008) pada halaman mukanya menerbitkan sebuah berita berjudul Islam ‘recognizes homosexuality’ (Islam mengakui homoseksualitas). Mengutip pendapat dari Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, guru besar di UIN Jakarta, koran berbahasa Inggris itu menulis bahwa homoseksual dan homoseksualitas adalah alami dan diciptakan oleh Tuhan, karena itu dihalalkan dalam Islam. (Homosexuals and homosexuality are natural and created by God, thus permissible within Islam). Menurut Musdah, para sarjana Muslim moderat berpendapat, bahwa tidak ada alasan untuk menolak homoseksual. Dan bahwasanya pengecaman terhadap homoseksual atau homoseksualitas oleh kalangan ulama aurus utama dan kalangan Muslim lainnya hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Tepatnya, ditulis oleh Koran ini: “Moderate Muslim scholars said there were no reasons to reject homosexuals under Islam, and that the condemnation of homosexuals and homosexuality by mainstream ulema and many other Muslims was based on narrow-minded interpretations of Islamic teachings.”[8]
Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.” (There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their piety). Demikian pendapat guru besar UIN Jakarta ini dalam diskusi yang diselenggarakan suatu organisasi bernama “Arus Pelangi”, di Jakarta, Kamis (27/3/2008). Menurut Musdah Mulia, intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Lebih jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah. [9]
The Jakarta Post juga mengutip pendapat seorang pembicara bernama Nurofiah, yang menyatakan, bahwa pandangan dominan dalam masyarakat Islam tentang heterogenitas adalah sebuah “konstruksi sosial”, sehingga berakibat pada pelarangan homoseksualitas oleh kaum mayoritas. Ini sama dengan kasus ”bias gender” akibat dominasi budaya patriarki. Karena itu, katanya, akan berbeda jika yang berkuasa adalah kaum homoseks. Lebih tepatnya, dikutip ucapan aktivis gender ini: “Like gender bias or patriarchy, heterogeneity bias is socially constructed. It would be totally different if the ruling group was homosexuals.”[10]
Diskusi tentang homoseksual itu pun menghadirkan pembicara dari Majelis Ulama Indonesia dan Hizbut Tahrir Indonesia. Kedua organisasi ini, oleh The Jakarta Post, sudah dicap sebagai “kelompok Muslim konservatif”. Ditulis oleh Koran ini: “Condemnation of homosexuality was voiced by two conservative Muslim groups, the Indonesian Ulema Council (MUI) and Hizbut Thahir Indonesia (HTI).” Amir Syarifuddin, pengurus MUI, menyatakan bahwa praktik homoseksual adalah dosa. “Kami tidak akan menganggap homoseksualitas sebagai musuh, tetapi kami akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah,” kata Amir Syarifudin.
Demikianlah berita tentang penghalalan homoseksual oleh sejumlah aktivis liberal, sebagaimana dikutip oleh The Jakarta Post. Jika kita rajin menyimak perkembangan pemikiran liberal, baik di kalangan Yahudi, Kristen, maupun Islam, maka kita tidak akan heran dengan berita yang dimuat di Harian The Jakarta Post ini. Kaum Yahudi Liberal, juga Kristen Liberal, sudah lama menghalalkan perkawinan sesama jenis. Bahkan, banyak cendekiawan dan tokoh agama mereka yang sudah secara terbuka mendeklarasikan sebagai orang-orang homoseks dan lesbian. Banyak di antara mereka yang bahkan sudah menyelenggarakan perkawinan sesama jenis di dalam tempat ibadah mereka masing-masing. Bagi kaum Yahudi dan Kristen liberal, hal seperti itu sudah dianggap biasa. Mereka juga menyatakan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan ajaran Bibel. Mereka pun menuduh kaum Yahudi dan Kristen lain sebagai “ortodoks”, “konservatif” dan sejenisnya, karena tidak mau mengakui dan mengesahkan praktik homoseksual.
Gereja Katolik, misalnya, tetap mempertahankan doktrinnya yang menolak praktik homoseksual. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan keputusan bertajuk “The Vatican Declaration on Sexual Ethics.” Isinya, antara lain menegaskan: “It (Scripture) does attest to the fact that homosexual acts are intrinsically disordered and can in no case be approved of.” Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali tentang terkutuknya perilaku homoseksual. Dalam Islam, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya. Meskipun sudah sejak dulu ada orang-orang yang orientasi seksualnya homoseks, ajaran Islam tetap tidak berubah, dan tidak mengikuti hawa nafsu kaum homo atau pendukungnya.[11]
Tidak ada ulama atau dosen agama yang berani menghalalkan tindakan homoseksual, seperti yang dilakukan oleh Prof. Siti Musdah Mulia dari UIN Jakarta tersebut. Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.[12]
Sejak terbitnya Jurnal Justisia dari Fakultas Syariah IAIN Semarang (edisi 25, Th XI, 2004), yang menghalalkan homoseksual, kita sudah mengingatkan para pimpinan kampus Islam agar lebih serius dalam menangani penyebaran paham liberal di kampus mereka. Sebab, virus liberal ini semakin menampakkan daya rusaknya terhadap aqidah dan pemikiran Islam. Ironisnya, fenomena ini justru digerakkan dari sejumlah akademisi di kampus-kampus berlabel Islam. Kita ingat kembali, bahwa dalam Jurnal Justisia tersebut, dilakukan kampanye besar-besaran untuk mengesahkan perkawinan homoseksual.
Jurnal itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Dalam buku tersebut dijelaskan strategi gerakan yang harus dilakukan untuk melegalkan perkawinan homoseksual di Indonesia, yaitu (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hak-haknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita. (hal. 15) Sebagaimana Prof. Musdah Mulia, para penulis dalam buku itu pun mengecam keras pihak-pihak yang masih mengharamkan homoseksual. Seorang penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam Al-Quran (Surat al-A’raf: 80-84 dan Hud: 77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks. Ditulis dalam buku ini sebagai berikut:
“Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, Al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo di samping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39)
Padahal, tentang Kisah Nabi Luth a.s. Al-Quran sudah memberikan gambaran jelas bagaimana terkutuknya kaum Nabi Luth yang merupakan pelaku homoseksual ini: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).[13]
Karena itu, para mufassir Al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti anak-anak syariah dari IAIN Semarang itu atau seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan homoseksual. Gerakan legalisasi homoseksual yang dilakukan oleh kaum liberal di Indonesia sebenarnya sudah melampaui batas. Bagi umat Islam, hal seperti ini merupakan sesuatu yang tidak terpikirkan (“unthought”). Bagaimana mungkin, dari kampus berlabel Islam justru muncul dosen dan mahasiswa yang berani menghalalkan homoseksual, suatu tindakan bejat yang selama ribuan tahun dikutuk oleh agama. Gerakan legalisasi homoseksual dari lingkungan kampus Islam tidak bisa dipandang sebelah mata. Tindakan ini merupakan kemungkaran yang jauh lebih bahaya dari gerakan legalisasi homoseks yang selama ini sudah gencar dilakukan kaum homoseksual sendiri.
Dalam catatan penutup buku karya anak-anak Fakultas Syariah IAIN Semarang tersebut, dimuat tulisan berjudul “ Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN”. Penulisnya, mengaku bernama Mumu, mencatat, “Ya, kita tentu menyambut gembira upaya yang dilakukan oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo tersebut.” Juga dikatakan dalam buku tersebut: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Logika ini sejalan dengan jalan pemikiran Musdah Mulia yang menyatakan bahwa pelarangan homoseksual hanyalah didasarkan pada penafsiran sempit terhadap ajaran Islam. Barangkali, seperti dikatakan Nurofiah, jika suatu ketika nanti kaum homoseksual sudah menjadi dominan, maka mereka akan memandang bahwa kaum heteroseksual adalah suatu kelainan. Inilah pandangan yang ‘keblinger’, yang lahir dari kekeliruan berpikir. Sebagaimana kasus perkawinan antara muslimah dan laki-laki non-Muslim yang didukung dan dipenghului oleh sejumlah dosen UIN Jakarta, kita patut khawatir, bahwa para akademisi liberal itu semakin menjadi-jadi tindakannya, dengan menjadi penghulu bagi perkawinan sesama jenis. Kita berharap hal itu tidak terjadi, meskipun Prof. Dr. Musdah Mulia sudah melontarkan pendapatnya tentang homoseksual secara terbuka di mediamassa.
Memang, jika orang sudah hilang rasa malunya, maka dia akan berbuat semaunya sendiri. Mungkin dia merasa sudah hebat, sudah jadi guru besar pemikiran Islam di suatu kampus Islam terkenal. Selama ini pun, orang-orang terdekatnya pun tidak mampu menghentikan kegiatannya. Namun, jika kita ikuti kisah perjalanan intelektual Prof. Musdah Mulia, kita sebenarnya tidak terlalu heran. Sejak awal, cara berpikirnya sudah kacau. Dia seenaknya sendiri mengubah-ubah hukum Islam, untuk disesuaikan dengan cara pandang dan cara hidup Barat. Tidak aneh, jika karena sepak terjangnya yang seperti itu, tahun lalu, pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret 2007, Musdah Mulia menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington. Ia dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan ‘pembaruan hukum Islam’ – termasuk – undang-undang perkawinan. Mungkin, setelah mendukung praktik homoseksual ini, dia akan mendapatkan pujian dan penghargaan jauh lebih tinggi lagi dari “kalangan tertentu.”
E.     PERNIKAHAN SESAMA JENIS (LGBT) DI MALAYSIA
Hak LGBT tidak dijamin di Malaysia. Bangsa ini tetap zaman penjajah kod jenayah menjenayahkan sodomi dan gagasan Islam fundamentalis mempunyai pengaruh besar pada undang-undang negara, politik, norma-norma budaya dan sikap sosial.

F.     KOD JENAYAH

Malaysia mempertahankan era kolonial larangan jenayah pada sodomi (dan juga seks oral), ditakrifkan secara luas untuk merangkumi tindakan heteroseksual dan homoseksual, dengan hukuman yang mungkin termasuk denda, hukuman penjara yang lama dan bahkan hukuman fizikal. Sebuah ayat dari kod jenayah, juga memberikan hukuman tambahan untuk orang yang dihukum kerana, "ketidaksenonohan kotor dengan lelaki lain".[[14]] Selain undang-undang sekular, warga Muslim juga mungkin akan dikenakan bayaran di mahkamah Islam khusus.[[15]]
Telah ada beberapa perbincangan awam mengenai reformasi undang-undang sehingga membebaskan swasta, non-komersil, tindakan seksual antara orang dewasa. Beberapa ahli parti pembangkang utama, telah menyatakan sokongan untuk seperti reformasi, terutama Latheefa Koya dan Anwar Ibrahim tetapi ini bukan kedudukan rasmi parti. Tidak ada parti politik atau ahli parlimen yang dipilih secara rasmi telah mencadangkan seperti reformasi.[[16]]
Pada tahun 1994, kerajaan melarang sesiapa sahaja yang homoseksual, biseksual atau transeksual muncul di media kerajaan dikawal.[[17]]
Pada tahun 2001 bekas Perdana Menteri Mahathir Mohamad menyatakan bahawa negara akan mengusir setiap menteri kabinet berkunjung asing atau diplomat yang gay.[[18]] Mohamad juga memberi amaran menteri gay di negara-negara asing untuk tidak membawa pasangan mereka saat mengunjungi negara ini.[[19]] Anak perempuan Mahathir, Marina Mahathir, menyeru mengakhiri diskriminasi berdasarkan orientasi seksual.[[20]]
Pada tahun 2005 Tentera Laut Diraja (RMN) kepala Mohd Anwar Mohd Nor menyatakan bahawa Tentera Laut tidak akan pernah menerima homoseksual.[[21]]
Pada 2010, Dewan Sensor Filem Malaysia mengumumkan hanya akan membolehkan penggambaran watak homoseksual asalkan watak bertaubat atau menjadi heteroseksual.
G.    PENGENALAN/PENJELASAN JANTINA
Cross-dressing tidak teknikal kejahatan. Namun, orang transgender sering ditangkap oleh polis berdasarkan undang-undang sivil yang menetapkan "ketidaksenonohan awam", dan jika mereka Muslim, selanjutnya boleh dikenakan oleh pegawai agama di bawah Undang-undang Syariah untuk "meniru" perempuan. Sebagai contoh, pada tahun 1998, Empat puluh lima Muslim waria dibebankan dan dihukum di mahkamah untuk berpakaian sebagai perempuan, dan orang-orang transjantina 2003 lebih menghadapi denda serupa dan penjara pada tahun 1999.
Ia dianggarkan bahawa sejumlah besar orang transjantina dipaksa untuk bekerja di jalanan sebagai pekerja seks komersial untuk mencari nafkah.

H.    LGBT DALAM POLITIK MALAYSIA

"Gerakan Anti-Homoseksual Rakyat Sukarela", dicipta pada tahun 1998 untuk melobi undang-undang jenayah yang lebih ketat terhadap kehomoseksualan, dan merupakan ahli United Malays National Organization (UMNO) yang berkuasa.
Parti Tindakan Demokratik secara terbuka telah berjanji untuk membela isu-isu hak LGBT, sehingga parti politik pertama di Malaysia untuk melakukannya.

I.       PENDAKWAAN ANWAR IBRAHIM

Pada tahun 1998, Anwar Ibrahim didakwa dengan rasuah dan sodomi. Pada tahun 2000, ia dijatuhi hukuman sembilan tahun untuk terlibat dalam sodomi dengan 19 tahun pemandu lelaki dan bekas penulis pidato lelakinya. Walaupun tunjuk perasaan kebangsaan dan antarabangsa, dia tidak dibebaskan sampai dia berkhidmat empat tahun hukuman, pada tahun 2004, ketika Mahkamah Persekutuan Malaysia membebaskannya dari semua tuntutan.
Setelah dibebaskan, Anwar menyatakan bahawa ia tidak bersalah dan tuduhan adalah sebahagian daripada konspirasi kerajaan untuk menamatkan kerjaya politiknya. Dia juga merasa bahawa undang-undang jenayah nasional terhadap kehomoseksualan harus direformasi untuk melindungi menyetujui hak orang dewasa untuk memiliki kehidupan peribadi, walaupun dia juga menyatakan bahawa perkahwinan gay, "akan terlalu jauh".
Pada tahun 2007, bekas Perdana Menteri Mahathir Mohamad menanggapi tuntutan sivil yang difailkan oleh Anwar dengan menyatakan bahawa homoseksual tidak boleh memegang jawatan awam di Malaysia dan bahawa dia tahu Anwar adalah seorang homoseksual kerana pemandu lelaki Anwar dan penulis pidato lelaki baik menyatakan di mahkamah bahawa mereka mempunyai hubungan seksual dengan Anwar.[[22]]
Pada bulan Julai 2008, Anwar ditangkap lagi, dituduh sodomi dengan bekas pembantu lelaki. Penangkapan terjadi sesaat setelah Anwar mengaku berada dalam kedudukan untuk mencabar kerajaan campuran selepas kejayaan pembangkang dalam pilihan raya Mac.[[23]] However, he was released on bail and won the campaign for his former seat in Parliament, and currently leads the opposition in Parliament.

J.      PERTUBUHAN LGBT DI MALAYSIA

Tidak ada kumpulan kepentingan ada untuk mengalakkan semata-mata hak LGBT.
Sebaliknya koalisi longgar NGO, seniman dan individu telah terbentuk dengan dalih menetapkan hak-hak seksualiti tahunan festival Seksualiti Merdeka. Seksualiti Merdeka adalah festival tahunan yang terdiri dari kata-kata, persembahan, main, workshop, dan forum, untuk mengalakkan hak-hak keseksualan sebagai hak asasi manusia, untuk memberi individu dan masyarakat terpinggir, dan untuk mencipta platform untuk berkongsi. Selain mengatur program ini festival tahunan, ahli gabungan ini juga terlibat dalam penulisan surat kempen, akan melakukan pemutaran filem rutin dan perbincangan, advokasi akademik dan latihan pelatih.
Kumpulan-kumpulan yang terlibat dalam Seksualiti Merdeka juga sendiri menganjurkan untuk hak-hak LGBT dalam rangka advokasi hak asasi manusia. Ini termasuk menubuhkan pertubuhan hak asasi manusia seperti Jawatankuasa Hak Asasi Manusia dari Malaysian Bar, SUARAM, PT Foundation, KRYSS, Women’s Candidacy Initiative, Persatuan Kesedaran Komuniti Selangor (Empower), Purple Lab, Matahari Books, dan The Annexe Gallery.
Beberapa kumpulan yang lain seperti Sisters in Islam, Pertubuhan Bantuan Perempuan, Amnesty International juga telah berurusan dengan masalah orientasi seksual dalam advokasi kesihatan masyarakat mereka. Fokus pada pendidikan AIDS-HIV telah memungkinkan untuk perbincangan awam yang lebih orientasi seksual, identiti jantina dan hak-hak asasi manusia.
PT Yayasan, awalnya bernama Pink Triangle, menumpukan pada "menyediakan pendidikan, pencegahan, penjagaan dan sokongan rancangan HIV/AIDS, kesedaran seksualiti dan programes pemberdayaan masyarakat terdedah di Malaysia". Masyarakat termasuk MSM (laki-laki yang berkaitan seks dengan lelaki), waria, pekerja seks, pengguna dadah, dan orang yang hidup dengan HIV. Mereka bergabung dengan organisasi lain, seperti "LPG" (untuk lelaki gay) dan "mengalahkan" (untuk lesbian) yang mengatur kegiatan rutin bagi masyarakat sasaran mereka.

K.    ISU HIV/AIDS

Walaupun tidak semata-mata masalah bagi orang LGBT, respon kesihatan masyarakat untuk AIDS HIV diperlukan perbincangan awam yang lebih besar dari topik yang sebelumnya tabu, termasuk keseksualan manusia, peranan gender dan orientasi seksual.
Sejak kes AIDS rasmi pertama muncul di negara, tahun 1985, kerajaan telah berada di bawah tekanan yang lebih untuk mempromosikan kempen pendidikan dan pencegahan kerana beberapa ahli telah menyarankan bahawa jumlah Malaysia dijangkiti HIV boleh pergi setinggi 300,000 tahun 2015 .
Pada tahun 2006, kerajaan melancarkan kempen awam baru yang komprehensif yang merangkumi terapi dan program penukaran jarum suntikan untuk penagih dadah, dan ubat percuma yang disediakan di klinik kerajaan.[[24]] Namun, perbincangan awam tentang keseksualan tetap merupakan topik tabu. Pada tahun 2007, Malaysia Jabatan Kesihatan dilarang menyokong penggunaan kondom untuk mengelakkan penyebaran penyakit kerana kekhuatiran bahawa kempen tersebut akan disamakan dengan sokongan kerajaan perilaku seksual di luar perkahwinan yang sah.[[25]]

L.     ADA GEREJA KHUSUS HOMOSEKS DI MALAYSIA

Kerajaan Federal Malaysia yang mayoritas warganya muslim, terpaksa menerima kenyataan hadirnya gereja khusus kaum homoseksual di Kuala Lumpur.
Gereja Metropolitan Community Church Kuala Lumpur (MCC KL) itu didirikan di Kuala Lumpur (KL) sejak 2009. Gereja yang seluruh jemaat dan pendetanya pengidap kelainan seksual itu, menginduk kepada Gereja Metropolitan Community Church (MCC) di New York.
Di negara asalnya, gereja homoseks ini didirikan di New York pada 1968 sebagai tempat ritual yang melindungi kaum gay Kristen yang ketika itu banyak dicerca masyarakat Amerika. MCC cabang Asia pertama kali didirikan di Manila, Filipina, yang bermayoritas Katolik. Salah seorang pendeta di sana yang bernama Pang Wai Yang pun seorang gay tulen.
Gereja yang memanjakan jemaat “sekong-wan” (sebutan kaum gay) Malaysia ini, melakukan ritual kebaktian perdana pada Agustus 2007 di Grand Olympic KL dihadiri pendeta Troy Perry dan Pat Bumgardner, pendiri MCC New York. Kedua pendeta inilah yang mempromosikan Ou Yang Weng Feng, seorang gay Kristen bekas kolumnis terkenal keturunan China Malaysia untuk meraih gelar doktor teologi di Amerika Serikat.
Ou Yang didampingi pendeta Pang Wai Yang yang juga menyatakan bagian dari kumpulan sekong-wan Malaysia. Pendeta Pang ini juga diakui MCC New York sebagai staf di MCC Kuala Lumpur.
Setelah bercerai dengan istrinya, Ou Yang (41) memutuskan untuk menikah sesama jenis dengan Phineas Newborn III di New York bulan Agustus 2011 silam. Phineas (47) adalah seorang gay berkulit hitam yang berbadan tegap dan penggiat teater Broadway. Sebelumnya mereka berencana menikah homo di Kuala Lumpur, tapi masyarakat Muslim dan Kristen Malaysia menghardik mereka.
Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan dengan diberikan perasaan cinta dan kasih sayang. Di luar itu adalah penyimpangan dan penyakit yang harus diobati, bukan malah ditampung dalam rumah ibadah.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Di Indonesia :  Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”), perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
Selain itu, di dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dikatakan juga bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Ini berarti selain negara hanya mengenal perkawinan antara wanita dan pria, negara juga mengembalikan lagi hal tersebut kepada agama masing-masing.
Mengenai perkawinan yang diakui oleh negara hanyalah perkawinan antara pria dan wanita juga dapat kita lihat dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) beserta penjelasannya dan Pasal 45 ayat (1) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta No. 2 Tahun 2011 tentang Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil (“Perda DKI Jakarta No. 2/2011”) beserta penjelasannya.
Di Malaysia : Hak LGBT tidak dijamin di Malaysia. Bangsa ini tetap zaman penjajah kod jenayah menjenayahkan sodomi dan gagasan Islam fundamentalis mempunyai pengaruh besar pada undang-undang negara, politik, norma-norma budaya dan sikap sosial.
Malaysia mempertahankan era kolonial larangan jenayah pada sodomi (dan juga seks oral), ditakrifkan secara luas untuk merangkumi tindakan heteroseksual dan homoseksual, dengan hukuman yang mungkin termasuk denda, hukuman penjara yang lama dan bahkan hukuman fizikal. Sebuah ayat dari kod jenayah, juga memberikan hukuman tambahan untuk orang yang dihukum kerana, "ketidaksenonohan kotor dengan lelaki lain".Selain undang-undang sekular, warga Muslim juga mungkin akan dikenakan bayaran di mahkamah Islam khusus.

DAFTAR PUSTAKA
Moelyanto. KUHP (kitab undang- undang hukum pidana). Bina Aksara: Jakarta.
Ali Akbar. H. Dr. 1982. Seksualitas ditinjau dari Hukum Islam. Ghalia Indonesia: Jakarta.
Sayid Sabiq, Fiqh al- sunnah, vol. II, Libanon, Darul Fikar, 1981
Ann Landers. 1983.  Problema dan Romantika Remaja (Terjemahan). Bina Pustaka: Jakarta.
Moertihko. Transeksual dan Waria. Surya Murti publishing. Solo.
Ahmad Ramali, Dr. Memelihara Kesehatan dalam Hukum Islam. Balai Pustaka. Jakarta.
Hasan Ali. Masail Fiqhiyah al- haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam. CV. Haji Masagung. Jakarta.
Digilib.Uin.suka.ac.id/3939/BAB%201,V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. ( di Download pada hari jum’at tanggal 22 Maret 2013 jam 20.00 wib)
Mulia, Siti Musdah dalam http://icrp-online.cb.net,akses 07 agustus 2008. ( di Download pada sabtu tanggal 23 Maret 2013 jam 16.00 wib)
Spencer, Robert. ‘Musdah Mulia, Muslimah Feminis ?’ dalam http:// www.indonesia.faithreedom.org/forum/viewtopic.php?p=1995&sid=cfaeb7f1678825246e67a6b230cf2370, di akses 3 februari 2008. (di Download pada tanggal 23 Maret 2013 jam 16.45 wib).


[1] Ann Landers. 1983.  Problema dan Romantika Remaja (Terjemahan). Bina Pustaka: Jakarta. Hal. 5-6.
[2] Moertihko. Transeksual dan Waria. Surya Murti publishing. Solo. Hal. 76.
[3] Ibid. hal. 9.
[4] Ahmad Ramali, Dr. Memelihara Kesehatan dalam Hukum Islam. Balai Pustaka. Jakarta. Hal. 73
[5] Moelyanto. KUHP (kitab undang- undang hukum pidana). Bina Aksara: Jakarta. Hal. 127.
[6]  M. Hasan Ali. Masail Fiqhiyah al- haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Ha.l45
[7] Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi. Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam. CV. Haji Masagung. Jakarta. Hal. 78.
[8] Digilib. Uin-suka.ac.id/3939/BAB%201,V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.pdf. ( di Download pada hari jum’at tanggal 22 Maret 2013 jam 20.00 wib)
[9] Mulia, Siti Musdah dalam http://icrp-online.cb.net,akses 07 agustus 2008. ( di Download pada sabtu tanggal 23 Maret 2013 jam 16.00 wib)
[10] Spencer, Robert. ‘Musdah Mulia, Muslimah Feminis ?’ dalam http:// www.indonesia.faithreedom.org/forum/viewtopic.php?p=1995&sid=cfaeb7f1678825246e67a6b230cf2370, di akses 3 februari 2008. (di Download pada tanggal 23 Maret 2013 jam 16.45 wib)
[11] Ali Akbar. H. Dr. 1982. Seksualitas ditinjau dari Hukum Islam. Ghalia Indonesia: Jakarta. Hal. 55.
[12] Ibid.
[13] Sayid Sabiq, Fiqh al- sunnah, vol. II, Libanon, Darul Fikar, 1981. Hlm. 361-365.